Peristiwa kematian Yesus Kristus mengisahkan penderitaan dan pengorbanan, harus menjadi refleksi khusus perayaan Jumat Agung (22/4). Umat Kristiani diajak kembali untuk hidup dalam ajaran Tuhan seperti kejujuran, hidup sederhana, dan peduli kepada sesama.
Yang harus dimaknai umat Kristen saat merayakan Jumat Agung, yaitu Yesus telah menjadi korban suatu peristiwa kekerasan, tapi pengorbanannya itulah yang justru menguntungkan umat manusia. Oleh karena itu, manusia harus menghayati Jumat Agung, via dolorosa, dengan tidak menciptakan penderitaan baru bagi sesamanya. Apalagi, saat ini masyarakat menanggung beban yang cukup berat. Yang harus diingat adalah manusia harus peka terhadap penderitaan orang lain.
Memaknai Jumat Agung
Hari Jumat Agung bagi orang Kristen adalah hari hening, hari orang menatap ke atas salib tempat Yesus bergantung, hari orang kembali merenungkan penebusan Yesus Kita juga hari ini berdiri di atas bukit Golgotha. Kita menyaksikan saat pakaian Yesus ditanggalkan, saat-saat paku-paku menembusi kaki dan tangan Yesus, saat Salib ditegakkan, saat-saat Yesus mengucapkan tujuh sabdaNya dari atas salib.
Di bawah asuhan seorang tukang kayu di Nazaret, Yesus tentu tahu tentang kayu, tahu tentang paku, tahu tentang hammar dan berbagai alat pertukangan lain. Kini semua alat ini digunakan para pembunuhNya ketika Ia dipaku di kayu salib.
Hari ini kita ingin merenung di hari penyelamatan kita. Di saat orang menghujat Yesus tetapi masih ada harapan, ketika Yesus menjawab orang yang mengenali dirinya, “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai raja” (Luk 23:42). Di salib itulah umat manusia menerima penebusan. Di salib itulah, kita disembuhkan oleh luka-luka Yesus.
Tak ada hidup kristiani tanpa salib
Salib itu mungkin tantangan hidup, rasa tidak diterima oleh orang lain, disalahpahami, disingkirkan, dikhianati, ditolak, dianggap sepele, dicaci maki, dihina, dipermalukan dan lain-lain. Salib adalah salib.
Dalam cahaya salib Yesus, kita ingin melihat salib kita sendiri. Hanya ketika kita menerima salib itu, Yesus akan mengubah salib kita menjadi salib penebusan, salib yang membawa kita pada firdaus yang membahagiakan. Hanya dengan itu, hati kita bisa menjadi sebuah bait Allah, jiwa kita sebuah altar, tempat pikiran dan perasaan kita menyatu dalam belas kasih Allah.
Itu sebabnya kita berkata, salib bukan merupakan kata akhir. Penderitaan bukan jalan terahir, tetapi melalui salib kita otimisme menoleh ke depan, masih ada pengampunan dan haru-hari baik yang penuh kepastian.
Jumat Agung bermakna pengampunan dan perdamaian
Peristiwa kematian Tuhan Yesus merupakan hal terpenting dalam kekristenan, karena kematian-Nya sebagai jaminan pengampunan dosa-dosa kita. Yesus mengampuni justru pada saat Ia sedang menderita sengsara tergantung di atas salib. Di saat penderitaan itulah justru Yesus berkata “Bapa ampunilah mereka.” (Lukas 23:34).
Ia minta Bapa mengampuni orang-orang yang menganiaya-Nya. Yesus mengampuni justru di saat Ia paling dikecewakan, karena sekarang Ia tidak sedang berada di antara murid-murid-Nya tetapi ada di antara para penjahat. Sementara orang-orang yang dekat dengan Dia bahkan yang pernah ditolong-Nya telah menyangkali dan meninggalkan-Nya.
Pengampunan itu harus lahir dari hati yang menyadari keterbatasan manusia. Yesus sadar manusia itu sifatnya sangat terbatas. Itulah sebabnya Allah menempatkan kita orang percaya di tengah dunia ini supaya kita dapat jadi berkat dan teladan hidup yang benar, Bahwa pengampunan harus lahir dari hati yang dekat dengan Bapa dan mengerti kehendak-Nya.
Bagi Yesus, satu-satunya jalan untuk pembebasan dari musuh adalah dengan mencintai musuh, berbuat baik kepada orang-orang yang membenci, dan berdoa bagi mereka yang memberikan perlakuan buruk (Lukas 6:27-28). Hukuman salib yang harus ditanggung Yesus dan kematian-Nya merupakan puncak gerakan antikekerasan yang dilancarkan Yesus demi membela rakyat yang ditindas penguasa agama yang berkoalisi-berkonspirasi dengan penguasa politik sezaman-Nya.
Salib adalah risiko tertinggi yang harus ditanggung Yesus dalam kesetiaan dan konsistensi-Nya membela rakyat yang dipinggirkan, diperlakukan tidak adil, dan diperas tangan-tangan kotor penguasa agama dan politik zaman itu. Salib adalah konsekuensi logis sikap Yesus dalam kerelaan memberikan pipi kiri kepada sang penampar yang telah menghajar pipi kanan dalam rimba kebuasan manusia. Itulah bentuk perlawanan radikal yang memutus siklus kekerasan dan balas dendam dengan cara membawa perdamaian.