Pada tanggal 5 Februari 1597, dua puluh enam orang Katolik dieksekusi di bangunan bersejarah yang diberi nama Twenty-Six Martyrs Museum and Monument ini. Nama ini didasarkan dari banyaknya orang Kristen yang mati dianiaya di bawah kepemimpin Toyotomi Hideyoshi di masa itu. Sejak masa pemerintahannya dimulai, banyak orang Kristen yang mengalami penganiayaan yang sangat kejam. Hal ini terjadi hampir selama dua abad lamanya.
Untuk memperingati peristiwa mengerikan yang dialami umat Kristen Jepang kala itu, museum yang berlokasi di Nishizaka Hill, Nagasaki ini akhirnya ditetapkan sebagai Suaka Nasional Jepang. Paus Yohannes Paulus II adalah salah satu pemimpin Katolik yang datang berkunjung ke situs ini pada 26 Februari 1981.
Sebelum peristiwa itu, museum ini dulunya adalah gedung Gereja Katolik Oura. Di tahun 1600-an, jemaat gereja ini kemudian mengalami penganiayaan yang sangat kejam dari pemerintah Jepang. Mereka dipaksa untuk menyangkali iman mereka.
Setelah peristiwa penganiayaan itu, tak satupun yang menyangka kalau kekristenan masih tetap hidup di Jepang. “Ku pikir kekristenan sudah benar-benar berakhir di Jepang. Aku terkejut saat tahu orang-orang Nagasaki terus menerus menjunjung teguh keyakinannya,” ucap Natsumi Sator, seorang pengunjung museum ini.
Masa-masa penganiayaan panjang ini pada akhirnya dibuat jadi film pada tahun 2017. Film ini diberi judul ‘Silence’ dan berhasil mendapat beberapa nominasi di Academy Awards, Amerika Serikat.
Di tahun 2015, Christian Today melaporkan tentang bagaimana masa penganiayaan itu diakui dalam pameran terpisah oleh Perpustakaan Vatikan dan Arsip Rahasia berisi kesaksian orang-orang Kristen yang teraniaya selama abad ke-16 sampai 19.
Dari kesaksian tersebut diketahui bahwa penganiayaan itu terjadi sejak kekristenan pertama kali muncul di Jepang pada tahun 1549. Saat itu sgereja benar-benar bertumbuh pesat. Pertumbuhan pesat ini pula yang membuat pemerintah Jepang merasa ketakutan. Sehingga mereka bertindak untuk menghabisi semua misionaris dari negara Barat yang datang ke Jepang untuk menyebarkan injil. Di suatu pagi di musim dingin pada bulan Februari 1597, sebanyak 26 orang Kristen disalibkan.
Setelah peristiwa itu, pemerintah Jepang memutuskan untuk memutihkan kekristenan dari Jepang. Pembersihan ini kembali dilakukan dengan mengkambinghitamkan para imam Katolik, dengan mengatakan bahwa agama Kristen bisa mengubah pemerintah negara dan memperoleh kepemilikan atas wilayah. Saat itu diperkirakan jumlah orang Kristen sudah mencapai 300 ribu dan kota Nagasaki dijuluki dengan sebutan ‘The Rome of Japan’.
Penganiayaan terus berlanjut. Baik wanita dan anak-anak dibakar hidup-hidup. Selain itu, ada juga yang digantung hidup-hidup di dalam lubang yang sudah berisi setengah kotoran. Kebanyakan dari korban hanya bisa bertahan satu atau dua hari.
Tapi pada tahun 1632, seorang misionaris asal Portugis Christovao Ferreira memilih menyangkal imannya sebagai Kristen setelah enam jam disiksa di dalam lubang. Pilihan ini jadi pukulan berat kepada semua orang Kristen. Beberapa misionaris yang memilih menyangkali imannya dilarang untuk kembali ke negaranya. Mereka dijadikan sebagai boneka pemerintah dan sama sekali tak bisa berbuat apa-apa.
Metode yang biasa digunakan untuk membuat seorang Kristen menyangkali imannya adalah dengan menyuruh mereka menginjak atau meludahi gambar Bunda Maria dan Yesus. Kalau mereka menolak, itu artinya mereka siap mati.
Kisah penganiayaan Kristen mengerikan inilah yang ditulis oleh penulis novel Shusako Endo yang diberi judul ‘Silence’.
Ada sekitar 6000 martir yang diperkirakan tewas selama periode 1614-1640. Setelah itu, keberadaan gereja di Jepang dianggap sudah hilang. Tapi pada tahun 1865, setelah Jepang dipaksa membuka diri dengan dunia luar, penduduk desa di Nagasaki kembali berkunjung ke gereja Katolik yang baru dibangun oleh Paris Foreign Missions Society. Mereka mengaku masih tetap mempertahankan iman mereka secara sembunyi-sembunyi selama 250 tahun lamanya. Mereka bahkan masih melafalkan doa-doa dalam bahasa Portugis dan bahasa Latin kuno. Selain itu, mereka masih punya kalung-kalung rosari milik ayah-ayah mereka yang mati martir.
Meskipun sejarah Kekristenan di Jepang terbilang begitu mengerikan. Ribuan orang mati martir demi mempertahankan imannya kepada Yesus, tapi benih iman yang sudah ditabur di Jepang sudah sejak lama tetap tumbuh subur. Sampai saat ini, umat Kristen di Jepang masih terus bertumbuh dan kita berharap Jepang akan dituai untuk kemuliaan Tuhan.